Pukul 4.30 wita. Suara rengekan
wafi, bidadari kecilku kembali membangunkanku dari mimpi indah. Kubalikkan tubuhku
sambil berkata, “Mas…biarkan saja, kasihan dia”, ucapku memelas penuh rasa iba.
“Kalau dimanjakan terus, kapan anak-anak akan disiplin. Bagaimana anak mau jadi
sholeh/sholeha”, jawab suamiku. Demikian percakapan singkat yang selalu
mengawali rutinitas kami di awal pagi. Untuk kesekian kalinya, suamiku tak
menggubris permohonannku. Ia tetap saja menarik kedua kaki bidadari kecilku,
lalu menggendongnya berlalu meninggalkanku yang masih bermalas-malasan ditempat
tidur. Samar terdengar suara suamiku yang membujuk si kecil untuk berwudhu dan
memakaikannya mukena. Aku mengikuti semua rutinitas pagi yang dilakukan suamiku
pada si kecil dari pembaringan. Sesekali hati ini berontak, marah, dan sedih
saat nada dan kalimat suamiku sedikit keras jika si kecil tak mau nurut. Namun entah
mengapa, diriku tak pernah mencoba untuk menggagalkan usaha suamiku membangunkan
si kecil di awal subuh. Seperti terhipnotis, aku hanya berdiam diri dan
membiarkan semuanya berlalu, hingga mereka kembali dari masjid penuh canda dan
tawa. Terbersit bahagia dihatiku setiap
mendengar suara tawa atau celoteh sikecil setiap pulang sholat. Alhamdulillaah..ia
tak marah-marah lagi, pikirku.
Suatu hari, wafi protes kepada ayahnya.
“Ayah…kenapa ibu tidak sholat di masjid. Kenapa Wafi tidak sholat saja di rumah
sama-sama ibu”. Mendengar pertanyaan si kecil, otakku refleks memikirkan
jawaban apa yang paling tepat untuk anak sesusia dia. Namun dengan entengnya suamiku
mendahului memberi jawaban, “Wafi kan masih kecil, jadi harus sholat di masjid.
Kalau ibu sudah besar, jadi boleh sholat di rumah”. “Hmm…berarti kalau Wafi
sudah besar, boleh sholat di rumah? Begitu ayah?” Demikianlah selalu pertanyaan
Wafi pada ayahnya. Kadang suamiku memberi jawaban bahwa aku tak bisa ke masjid karena sedang ada halangan. Mendengar
jawaban ayahnya, ia hanya mengangguk tanda mengerti. Namun, sebagai ibu aku
tahu pasti gadis kecilku yang kritis belum puas dengan jawaban yang ayahnya
berikan. Hal ini terbukti setiap pulang dari masjid, usai memberi salam dan
mencium tanganku ia langsung mengecek balik apakah aku sudah sholat atau belum.
Jika aku menjawab tidak, ia akan bertanya dan terus bertanya. Kadang ia akan
menyimpulkan sendiri, “Oooh…ibu pasti lagi haid”.
Rutinitas pergi sholat subuh
berjamaah ke masjid menjadi sesuatu yang menyenangkan bagi si kecil jika aku
bisa turut bersama dia dan ayahnya. Apalagi jika kakak-kakaknya ikut. Senyum riangnya
merekah dan ia akan bercerita selama berjalan kaki menuju masjid. Sepanjang hari
suasana hatinya akan bergembira. Sebaliknya jika aku berhalangan, ia ogah-ogahan
menuruti ajakan ayahnya. Saat dibangunkan ayahnya, ia langsung bangun dan
bertanya apakah aku akan ikut ke masjid. Jika aku menjawab tidak, maka ia akan bertingkah.
Gadis kecilku akan kembali telungkup sambil membanting kedua kakinya silih
berganti ke tempat tidur. Jika demikian maka ayahnya akan bersikap keras. Kegiatan
membujuknya akan berakhir dengan isak
tangis Wafi dalam gendongan ayahnya. Sementara aku tetap diam, membiarkan semua
berlalu.
Sekarang gadis kecilku mulai
besar. Besok, tepatnya tanggal 14 Maret 2020 ia akan berulang tahun yang ke-8. Artinya,
rutinitas di awal subuh telah lima tahun berlalu. Gadis kecilku tak pernah protes
lagi jika aku tak pergi sholat berjamaah ke masjid. Akupun sedikit lega karena
merasa tidak terbebani dengan rasa bersalah jika tak mendampinginya. Tapi apakah
benar seperti itu? Apakah aku benar-benar terbebas dari rasa bersalah? Hello…ternyata
tidak sahabat. Gadis kecilku memang tidak pernah lagi mempermasalahkan aku sholat
lima waktu dimasjid atau di rumah, aku sholat berjamaah atau tidak. Diusianya
yang kedelapan ia justru protes hal yang lain. Misalnya ketika ia sudah menuntaskan
hafalan 40 ayat Al-Quran Surah An-Naba dengan fasih, sementara aku belum.
“Ibu sudah hafal Surah An-Naba?”
“Belum” jawabku singkat.
“Astagfirullaahal ‘aziim, ibu…ibu. Masak tidak hafal?”
ucap Wafi sambil menggelengkan kepalanya.
“Iya…kan ibu sibuk. Banyak kerjaannya, jadi tidak
sempat hafal” timpalku alih-alih ingin membela diri.
Sejak hari itu, setiap pulang mengaji gadis kecilku selalu
mengecek hafalanku. Merasa malu pada diriku sendiri, sebisa mungkin aku
sempatkan untuk menghafal 1 ayat tiap hari. Tepat lima hari kemudian aku
kembali dibuatnya risih pada diriku sendiri.
“Ibu sudah hafal berapa ayat?”
“Alhamdulillah sudah lima ”, jawabku sedikit bangga.
“Ha…ha…ha…baru lima?” tanya gadis kecilku sambil
terpingkal-pingkal.
“Ibu…ibu, bagaimana ibu ini. Besok harus sudah enam
ya!” cetusnya membuatku harus setuju dengan perjanjian yang ia ajukan. Aku pun
menyanggupinya. Namun sayang, pekerjaanku yang cukup padat sebagai guru SD
kelas 6 membuatku kesulitan untuk fokus pada ayat yang coba kuhapal. Ya Allah…padahal
aku hanya berusaha menambah hafalan satu ayat saja agar putri kecilku senang.
Apalah daya hingga magrib menjelang dan Wafi pulang dari taman pengajian, aku
tak kunjung hafal ayat ke enam dari Surah An-Naba. Aku mengalah, aku pasrah. Aku
tahu ia pasti akan menertawakanku lagi seperti kemarin.
Pukul 18.30 Wita terdengar bunyi pagar
besi yang di dorong disertai suara riuh kedua anakku pulang mengaji. Wafi
memang tidak sendirian. Aku sengaja meminta anakku yang ketiga untuk mengaji
lagi meskipun ia sudah tamat alias wisuda di TPQ yang berbeda. Awalnya ia
menolak dan sempat adu argument dengan aku dan ayahnya. Ia protes dan merasa
tidak diperlakukan dengan adil. Merasa kami tidak mempercayai kemampuannya membaca
Al-Quran. kami terus membujuknya, memberinya pemahaman tentang kesalahpahaman
yang ada. Meluruskan pikirannya yang keliru terhadap permintaan kami.
Alhamdulillah setelah beberapa hari berlalu, akhirnya iapun mau menuruti permintaan kami. Usai jam
pelajaran di SMP iapun pergi ke taman
pengajian bersama adiknya. Meskipun satu TPQ, namun Wafi dan kakaknya berbeda
kelas. Aini berada di kelas yang lebih fokus pada hafalan Quran serta pemantapan
tajwid (hukum membaca Al Quran).
Alhamdulillaah, mereka berdua
semakin pandai membaca Al Quran juga bertambah hafalan surahnya. Disatu sisi
aku merasa sangat bersyukur kepada Allah dikaruniai anak-anak yang sholeh/sholehah
serta cerdas. Namun disisi lain sebagai orang tua aku juga harus siap dikritik
setiap saat. Satu hal yang selalu saya ajarkan kepada mereka, bahwa ilmu tak
boleh membuat kita menjadi sombong apalagi sampai tak menghargai orang tua. Saat
mereka mengkritik hukum membaca Al Quran ku yang kurang tepat atau jika hafalan
surahku keliru, dengan senang hati aku akan mendengarkan mereka. Aku tak perlu
merasa rendah diri, merasa sok tua, atau tersinggung. Semua keegoisan ku buang
jauh-jauh. Aku selalu berharap, jika aku berusaha berbuat yang terbaik untuk
mereka pasti merekapun akan memberikan yang terbaik untuk kami orang tuanya
baik di dunia maupun di akhirat.
Pengalaman mendidik anak-anakku
mengajarkanku untuk tidak merasa sebagai orang yang paling benar. Janganlah bersikap
malu untuk belajar pada anak-anak kita. Jangan marah jika dikritik anak kecil, tapi belajarlah mendengar dan menerima saran serta kritik mereka. Saat kita menerima dengan senyum dan
iklas ilmu/hal yang mereka bagikan, maka sikap ini telah mengajarkan mereka
tentang bagaimana menghargai ilmu yang dimiliki serta cara berbagi ilmu dengan
orang yang lebih tua dengan sopan (tidak menggurui). Mereka memang lebih kecil
dari tubuh kita, mereka lebih muda dari kita. Tapi mereka adalah bidadari yang
Allah turunkan untuk membawa kita bersama menuju syurga.
Keren
BalasHapusterima kasih om jay. Btw, bisa dikategorikan fiksi atau non fiksi ya?
HapusBagus Bu Mila. Terus menulis ya. Bantu jawab, tulisan di atas masuk kategori fiksi. Jenisnya cerpen, Bu.
BalasHapusTerima kasih bu Tere. Bukan fiksi. Ternyata menurut om jay itu bentuknya non fiksi. Karena cerita tadi adalah kenyataan, pengalaman hidup yang ditulis secara naratif.😊
HapusBagus sekali bu tulisannya,ibu Langsung praktek..
HapusSalam kenal bu..
Terima kasih bu Asnati. Salam kenal balik
Hapusgoood posting
BalasHapusTerima kasih Pak Dedi. Mohon bimbingannya selalu.
HapusInspiratif banget bu semangatttt buu
BalasHapusTetima kasih Bu Mudafiatun. Insya Allah tetap semangat dan konsisten
Hapus