Blok Berbagi Pengetahuan & Inspirasi Pendidikan

Facebook

test

Breaking

Post Top Ad

Your Ad Spot

Jumat, 13 Maret 2020

Belajar dari Anak Kecil, Mengapa Harus Malu?



Pukul 4.30 wita. Suara rengekan wafi, bidadari kecilku kembali membangunkanku dari mimpi indah. Kubalikkan tubuhku sambil berkata, “Mas…biarkan saja, kasihan dia”, ucapku memelas penuh rasa iba. “Kalau dimanjakan terus, kapan anak-anak akan disiplin. Bagaimana anak mau jadi sholeh/sholeha”, jawab suamiku. Demikian percakapan singkat yang selalu mengawali rutinitas kami di awal pagi. Untuk kesekian kalinya, suamiku tak menggubris permohonannku. Ia tetap saja menarik kedua kaki bidadari kecilku, lalu menggendongnya berlalu meninggalkanku yang masih bermalas-malasan ditempat tidur. Samar terdengar suara suamiku yang membujuk si kecil untuk berwudhu dan memakaikannya mukena. Aku mengikuti semua rutinitas pagi yang dilakukan suamiku pada si kecil dari pembaringan. Sesekali hati ini berontak, marah, dan sedih saat nada dan kalimat suamiku sedikit keras jika si kecil tak mau nurut. Namun entah mengapa, diriku tak pernah mencoba untuk menggagalkan usaha suamiku membangunkan si kecil di awal subuh. Seperti terhipnotis, aku hanya berdiam diri dan membiarkan semuanya berlalu, hingga mereka kembali dari masjid penuh canda dan tawa. Terbersit  bahagia dihatiku setiap mendengar suara tawa atau celoteh sikecil setiap pulang sholat. Alhamdulillaah..ia tak marah-marah lagi, pikirku.
Suatu hari, wafi protes kepada ayahnya. “Ayah…kenapa ibu tidak sholat di masjid. Kenapa Wafi tidak sholat saja di rumah sama-sama ibu”. Mendengar pertanyaan si kecil, otakku refleks memikirkan jawaban apa yang paling tepat untuk anak sesusia dia. Namun dengan entengnya suamiku mendahului memberi jawaban, “Wafi kan masih kecil, jadi harus sholat di masjid. Kalau ibu sudah besar, jadi boleh sholat di rumah”. “Hmm…berarti kalau Wafi sudah besar, boleh sholat di rumah? Begitu ayah?” Demikianlah selalu pertanyaan Wafi pada ayahnya. Kadang suamiku memberi jawaban bahwa aku tak  bisa ke masjid karena sedang ada halangan. Mendengar jawaban ayahnya, ia hanya mengangguk tanda mengerti. Namun, sebagai ibu aku tahu pasti gadis kecilku yang kritis belum puas dengan jawaban yang ayahnya berikan. Hal ini terbukti setiap pulang dari masjid, usai memberi salam dan mencium tanganku ia langsung mengecek balik apakah aku sudah sholat atau belum. Jika aku menjawab tidak, ia akan bertanya dan terus bertanya. Kadang ia akan menyimpulkan sendiri, “Oooh…ibu pasti lagi haid”.
Rutinitas pergi sholat subuh berjamaah ke masjid menjadi sesuatu yang menyenangkan bagi si kecil jika aku bisa turut bersama dia dan ayahnya. Apalagi jika kakak-kakaknya ikut. Senyum riangnya merekah dan ia akan bercerita selama berjalan kaki menuju masjid. Sepanjang hari suasana hatinya akan bergembira. Sebaliknya jika aku berhalangan, ia ogah-ogahan menuruti ajakan ayahnya. Saat dibangunkan ayahnya, ia langsung bangun dan bertanya apakah aku akan ikut ke masjid. Jika aku menjawab tidak, maka ia akan bertingkah. Gadis kecilku akan kembali telungkup sambil membanting kedua kakinya silih berganti ke tempat tidur. Jika demikian maka ayahnya akan bersikap keras. Kegiatan membujuknya akan berakhir  dengan isak tangis Wafi dalam gendongan ayahnya. Sementara aku tetap diam, membiarkan semua berlalu.
Sekarang gadis kecilku mulai besar. Besok, tepatnya tanggal 14 Maret 2020 ia akan berulang tahun yang ke-8. Artinya, rutinitas di awal subuh telah lima tahun berlalu. Gadis kecilku tak pernah protes lagi jika aku tak pergi sholat berjamaah ke masjid. Akupun sedikit lega karena merasa tidak terbebani dengan rasa bersalah jika tak mendampinginya. Tapi apakah benar seperti itu? Apakah aku benar-benar terbebas dari rasa bersalah? Hello…ternyata tidak sahabat. Gadis kecilku memang tidak pernah lagi mempermasalahkan aku sholat lima waktu dimasjid atau di rumah, aku sholat berjamaah atau tidak. Diusianya yang kedelapan ia justru protes hal yang lain. Misalnya ketika ia sudah menuntaskan hafalan 40 ayat Al-Quran Surah An-Naba dengan fasih, sementara aku belum.
“Ibu sudah hafal Surah An-Naba?”
“Belum” jawabku singkat.
“Astagfirullaahal ‘aziim, ibu…ibu. Masak tidak hafal?” ucap Wafi sambil menggelengkan kepalanya.
“Iya…kan ibu sibuk. Banyak kerjaannya, jadi tidak sempat hafal” timpalku alih-alih ingin membela diri.
Sejak hari itu, setiap pulang mengaji gadis kecilku selalu mengecek hafalanku. Merasa malu pada diriku sendiri, sebisa mungkin aku sempatkan untuk menghafal 1 ayat tiap hari. Tepat lima hari kemudian aku kembali dibuatnya risih pada diriku sendiri.
“Ibu sudah hafal berapa ayat?”
“Alhamdulillah sudah lima ”, jawabku sedikit bangga.
“Ha…ha…ha…baru lima?” tanya gadis kecilku sambil terpingkal-pingkal.
“Ibu…ibu, bagaimana ibu ini. Besok harus sudah enam ya!” cetusnya membuatku harus setuju dengan perjanjian yang ia ajukan. Aku pun menyanggupinya. Namun sayang, pekerjaanku yang cukup padat sebagai guru SD kelas 6 membuatku kesulitan untuk fokus pada ayat yang coba kuhapal. Ya Allah…padahal aku hanya berusaha menambah hafalan satu ayat saja agar putri kecilku senang. Apalah daya hingga magrib menjelang dan Wafi pulang dari taman pengajian, aku tak kunjung hafal ayat ke enam dari Surah An-Naba. Aku mengalah, aku pasrah. Aku tahu ia pasti akan menertawakanku lagi seperti kemarin.
Pukul 18.30 Wita terdengar bunyi pagar besi yang di dorong disertai suara riuh kedua anakku pulang mengaji. Wafi memang tidak sendirian. Aku sengaja meminta anakku yang ketiga untuk mengaji lagi meskipun ia sudah tamat alias wisuda di TPQ yang berbeda. Awalnya ia menolak dan sempat adu argument dengan aku dan ayahnya. Ia protes dan merasa tidak diperlakukan dengan adil. Merasa kami tidak mempercayai kemampuannya membaca Al-Quran. kami terus membujuknya, memberinya pemahaman tentang kesalahpahaman yang ada. Meluruskan pikirannya yang keliru terhadap permintaan kami. Alhamdulillah setelah beberapa hari berlalu, akhirnya iapun  mau menuruti permintaan kami. Usai jam pelajaran di SMP iapun  pergi ke taman pengajian bersama adiknya. Meskipun satu TPQ, namun Wafi dan kakaknya berbeda kelas. Aini berada di kelas yang lebih fokus pada hafalan Quran serta pemantapan tajwid (hukum membaca Al Quran).
Alhamdulillaah, mereka berdua semakin pandai membaca Al Quran juga bertambah hafalan surahnya. Disatu sisi aku merasa sangat bersyukur kepada Allah dikaruniai anak-anak yang sholeh/sholehah serta cerdas. Namun disisi lain sebagai orang tua aku juga harus siap dikritik setiap saat. Satu hal yang selalu saya ajarkan kepada mereka, bahwa ilmu tak boleh membuat kita menjadi sombong apalagi sampai tak menghargai orang tua. Saat mereka mengkritik hukum membaca Al Quran ku yang kurang tepat atau jika hafalan surahku keliru, dengan senang hati aku akan mendengarkan mereka. Aku tak perlu merasa rendah diri, merasa sok tua, atau tersinggung. Semua keegoisan ku buang jauh-jauh. Aku selalu berharap, jika aku berusaha berbuat yang terbaik untuk mereka pasti merekapun akan memberikan yang terbaik untuk kami orang tuanya baik di dunia maupun di akhirat.
Pengalaman mendidik anak-anakku mengajarkanku untuk tidak merasa sebagai orang yang paling benar. Janganlah bersikap malu untuk belajar pada anak-anak kita. Jangan marah jika dikritik anak kecil, tapi belajarlah mendengar dan menerima saran serta kritik mereka. Saat kita menerima dengan senyum dan iklas ilmu/hal yang mereka bagikan, maka sikap ini telah mengajarkan mereka tentang bagaimana menghargai ilmu yang dimiliki serta cara berbagi ilmu dengan orang yang lebih tua dengan sopan (tidak menggurui). Mereka memang lebih kecil dari tubuh kita, mereka lebih muda dari kita. Tapi mereka adalah bidadari yang Allah turunkan untuk membawa kita bersama menuju syurga.




10 komentar:

  1. Balasan
    1. terima kasih om jay. Btw, bisa dikategorikan fiksi atau non fiksi ya?

      Hapus
  2. Bagus Bu Mila. Terus menulis ya. Bantu jawab, tulisan di atas masuk kategori fiksi. Jenisnya cerpen, Bu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih bu Tere. Bukan fiksi. Ternyata menurut om jay itu bentuknya non fiksi. Karena cerita tadi adalah kenyataan, pengalaman hidup yang ditulis secara naratif.😊

      Hapus
    2. Bagus sekali bu tulisannya,ibu Langsung praktek..
      Salam kenal bu..

      Hapus
    3. Terima kasih bu Asnati. Salam kenal balik

      Hapus
  3. Balasan
    1. Terima kasih Pak Dedi. Mohon bimbingannya selalu.

      Hapus
  4. Inspiratif banget bu semangatttt buu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tetima kasih Bu Mudafiatun. Insya Allah tetap semangat dan konsisten

      Hapus

Post Top Ad

Your Ad Spot