Sejak pagi aku lebih
memilih berleha-leha dengan selimut tebal dibawah hembusan sejuknya air
conditioner pada suhu 30o C. Sebagian besar orang pasti merasa aneh,
kok suhu segitunya dibilang sejuk? Ya…bagi saya dan bu Masrita teman sekamarku yang
merupakan guru salah satu SMP di Kabupaten Luwu Makassar, angka itu lumayan
cukup membuat kami kedinginan. Mungkin..karena kami berdua berasal dari daerah timur
yang udaranya cukup panas. Kamipun punya kebiasaan yang sama, yaitu tidak tahan
udara dingin. Satu hal yang saya senangi darinya adalah ketaatannya menjalankan
ibadah wajib maupun sunnah tepat pada waktunya. Seperti ketika waktu ibadah
subuh pagi tadi. Meskipun ia belum bisa melaksanakan ibadah (sedang datang
bulan), beliau tetap bangun pukul 4 subuh. Dalam keadaan ngantuk yang mendalam
saya hanya bisa merasakan setiap gerak geriknya, dan memilih sembunyi di balik
selimut.
“Bu Mila, banguuun!”
begitu selalu nada morning call darinya.
“Hmm...iya, sudah
bangun dari tadi.” Jawabku sambil merapatkan dekapan hangatnya si selimut.
“Weii…sudah jam
enam itu!” Bu Masrita kembali mengingatkanku.
Memang begitulah
pengaturan waktu di Malaysia. Kalau dilihat, tidak ada perbedaan yang
ditunjukkan oleh mesin waktu, yaitu sama dengan kami yang berada di zona
Indonesia bagian tengah. Hanya saja suasanya alamnya yang berbeda. Jadi,
meskipun waktu telah menunjukkan pukul 06 pagi tapi suasanya sama dengan pukul
5 pagi WIB.
“Bu Milaaa…tidak
mau sholat? HP ku lowbat, jadi tidak kedengaran azan shubuhnya.”
“Iya..iya…ini
mau sholat!” Sontak kuhempas selimut tebal dan langsung berlari ke kamar mandi
sebelum bu Masrita menyalakan lagi semua lampu kamar agar aku bangkit.
“Ngantuk ya,
bagaimana semalam begadang terus!”
“Hehehe..”
sahutku sambil nyengir dan bergegas memakai mukena agar tidak diomelin bu asrama
(sebutan yang kuberikan padanya).
Usai menuntaskan
semua keluh kesahku pada sang Khalik, aku kembali melompat ke tempat tidur
dengan maksud kembali menuntaskan tidurku yang baru dua jam. Namun hingga fajar
menyingsing mata ini tak mau kembali kupejamkan. Sejam…dua jam kami habiskan
dengan mengulas cerita semalam tentang puisi-puisi yang kutulis sebagai
ungkapan rindu yang tak tentu arah. Dengan penuh semangat ku ceritakan pula tentang
puisi Pak Zazuli yang menggelitikku dengan kata Mu pada setiap baitnya.
“Mu? Maksudnya,
apa itu? Mu siapa?” tanya bu Masrita dengan penuh penasaran.
“Entahlah. Aku
juga semalam bertanya, saat chatingan di WA. Mu itu Siapa, di kamar berapa?”
jawabku.
“Ini ada nama
Ahmad Dani dan Mulan Jamila?”
“Oooh…itu…si
Mas Dani pak Zazuli ibaratkan seperti Ahmad Dani!”
“Berarti MU?”
tanya bu Masrita kian penasaran.
“Ooohhh…berarti
Mu itu Mulan Jamila!” jawabku dengan nada agak tinggi.
“Maksudnya?” (masih
tidak mengerti)
“Yaitu…saya! Kalau
mas Dani itu Ahmad Dani, Mulan Jamila itu ya Aku!” Ujarku memperjelas kalimat
yang tertulis di chatingan semalam.
“Ooh….hahahaha”
kami berdua lalu tertawa lepas melupakan para tetangga yang mungkin masih
terlelap.
“Bu Mila saya duluan
mencuci ya.” Ujar bu Masrita sambil
berlalu menuju kamar mandi, sementara aku kembali asyik dengan selimut
hangatku. Tak lama berselang kembali ia mengusikku dengan pertanyaan-pertanyaan
yang menuntunku pada sebuah kisah masa muda.
Cerita berawal
dari perkenalanku dengan si Pujaan Hati. Panjang lebar aku berkisah melebihi jelasnya
synopsis sinetron yang biasa tayang di Indosiar, SCTV maupun RCTI. Begitu menariknya
kisahku hingga bu Masrita berkata, “Tunggu…tunggu, sepertinya saya pernah nonton
film itu!”
“Aaahhh…tidak
ada! Mana ada film seperti kisahku!”
“Iya betul,
pernah kayaknya! Boleh itu, Bu Mila kisahnya diangkat jadi sebuah film.”
“Hahahaha…tak
mau aku serahkan kisahku pada sutradara. Biarlah kisah ini abadi dan kunikmati setiap
alurnya sepanjang hidupku!” jawabku dengan tegas.
“Waaah, Hahahaha…lucunya”
kami berduapun kembali tertawa lepas seakan-akan kami sudah berteman sangat
lama. Kisahpun terus berlanjut hingga di depan cafe Reksam. Segera kuakhiri kisah
pagiku khawatir ada telinga lain yang ikut mendengar. Di dalam kafe ternyata sudah
banyak teman yang duduk asyik ngobrol. Dengan santai kuhempaskan tubuhku pada
kursi merah sambil memperhatikan situasi dan topik perbincangan teman-teman. Sedikit
heran melihat meja-meja yang masih bersih tanpa piring dan gelas kotor.
“Kalian sudah
makan?” tanya bu Masrita.
“Beluum.
Makanannya belum ada!” Jawab bu Ida, yang bertubuh kecil namun sangat cantiik
(hehehe)
Waah…berarti kita
kepagian niih sarapannya, mungkin karena ini hari Minggu pikirku dalam hati.
Eeh..tak semenit berlalu petugas cafe datang dan menyiapkan sarapan kami.
Lumayan…pagi ini kami diberi nasi goreng dan omelet telur. Usai makan kami
kembali ke kamar dan sibuk dengan kerjaan masing-masing. Seperti halnya aku,
yang harus menuntaskan tumpukan cucian dan nyetrika.
Aahhh..rasanya lelah
sekali hari ini. Usai menata kembali pakaian ke dalam travel bag, kembali
kuhempaskan tubuhku. Sengaja siang ini aku hanya ingin tiduran saja, hingga
ajakan teman-teman untuk diskusi terlupakan, bahkan ajakan teman-teman ‘ntuk
traveling ke My Din pun kutolak. Kupuaskan ngantukku hingga kembali bu Masrita
mengusikku dengan pertanyaan yang sama.
“Bu Mila…sudah sholat?”
“Belum, mukenaku
belum kering.” Ucapku memberi alasan.
“Itu ada saya
punya sudah kering. Pakai saja!”
“Iya…”
Braak!! Bunyi pintu
yang kembali ditutup, entah ia pergi ke kamar nomor berapa. Namun belum lima menit
berselang dia balik lagi.
“Bu Milaaa!
Sudah sholat zuhur?”sedikit berteriak, bu Masrita kembali membangunkanku.
“Belum…mukenanya
masih panas!” jawabku ngeyel.
“Ededeee…mau
saya pukul juga ini pantatnya kalau malas sholat seperti anakku, banyak sekali
alasannya!”
“Hahaha….iya,
iya…! Ini mau solat, masak juga sampai mau dipukul di pantat!” jawabku tertawa
sambil bergegas ke kamar mandi untuk berwudhu. Sambil nyengir-nyengir sendiri mendengar
ancaman bu Masrita, tiba-tiba kembali sosok suami tercinta hadir mengusik rindu
yang semakin berat. Dia yang selalu menuntunku agar tetap lurus di jalanNya
dengan penuh kesabaran. Dia yang selalu menganggapku anak kecil paling bandel
dan suka menggoda (hehehe kapan sholatnya??) Buru-buru kutepis semua rinduku,
mengingat waktu sholat yang terus melambai memanggilku ‘ntuk segera ditunaikan.
Usai sholat, kembali
kurebahkan tubuh sambil mengamati setiap sisi dan sudut ruang kamar yang setia
menemani hari-hari kami hingga dua pekan mendatang. Hmmm..sunyi sekali. Bu
Masrita sudah pergi sedari tadi menuntaskas isi dompetnya. Aaah…bisa tidur enak
ini pikirku, namun ternyata mata ini tak mau diajak tidur. Kualihkan tatapanku pada handphone butut yang selalu
menemaniku (kecuali ke kamar mandi dan sholat).
Satu persatu kusentuh nomor-nomor cantik milik suamiku berharap bisa mendengar
suara bijaknya di seberang sana. Berulang kali kucoba, lagi dan lagi namun nada
dering itu tak bersambut.
Galau dalam
keheningan kubuka whatsup berharap ada info baru dari grup Recsam. Tiba-tiba
aku teringat pesan Jenderal (Pak Alphian) agar Fokus pada Satu Titik. Segera kusentuh kembali layar Hpku mencari
tulisan beliau dan kembali kubaca tulisan tersebut untuk kedua kalinya. Ternyata
Jenderal ingin mengingatkan kami agar terus bertahan, jangan sampai hilang
kendali karena pertempuran baru dimulai. Yaah..benar, pertempuran melawan selaksa
rindu, pertempuran melawan godaan CILOK (kata pak Yasri), dan yang paling utama
adalah pertempuran menyelesaikan semua tugas agen pendidikan yang dibebankan
kepada kami, sebagai bukti pertanggungjawaban kepada negara. Pesan ini sangat
singkat namun Tegas dan Emergency. Mungkin Jenderal tahu beratnya
memendam rindu serta bahaya kehancuran yang bakal ditimbulkan. Yaah…itulah
tugas Jenderal, mengawal pasukannya.
Pesan Jenderal
ini lalu mengingatkanku pada sebuah papan catur. Permainan yang selalu kujauhi sejak
kecil karena kurasa rumit, dan memang aku tak mau tahu. Namun di awal pernikahan,
permainan inilah yang menyatukan kami. Papan Catur ini menjadi saksi bisu yang
mewarnai masa pacaranku pasca menikah dengan dia “Imamku”. Ya..dia yang selalu mengajarkanku bagaimana menjalani
hidup ini dengan benar. Dia yang
mengajarkanku bahwa dunia tak ubahnya papan catur, sementara kita manusia
adalah bidaknya (buah catur). Sebagai buah catur kita harus mampu menempatkan
nilai dan kemampuan kita sesuai bidak yang ingin kita mainkan. Hal ini berarti
bahwa manusia adalah penguasa. Kitalah yang harus menentukan sendiri lakon apa yang
akan kita mainkan, bukan orang lain. Kita pula yang harus bijak menentukan
setiap langkah kita. Setiap kotak dalam papan catur ibarat bidang koordinat
yang menjadi penentu langkah kita menuju
kemenangan. Sehingganya setiap melangkah kita harus memikirkan dengan matang arah
mana yang kita tuju jangan sampai salah. Jangan sengaja menjadi umpan, tawanan,
apalagi skakmat/mati tanpa bisa berbuat
apa-apa.
Filosofi Papan
Catur menyadarkanku untuk segera bangun dari semua mimpi-mimpi tentang rinduku
pada mu. Cukuplah bait-bait puisi menjadi saksi dan tempat mencurahkan sejuta angan
dan hasratku yang terpendam, karena kutahu kau tak ingin tahu apalagi membacanya.
Cukuplah mimpi ini semalam saja, dan biarkan kusambut fajar esok dengan semangat baru.
Musik keroncong
yang mulai berdendang memaksaku berhenti memainkan denting irama hati. Menyadarkanku
bahwa sejak siang hingga malam menggelayut aku asyik menikmati kesendirian ditinggal
semua teman-teman yang sibuk belanja
memenuhi isi koper mereka. Lagu keroncong inipun semakin nyaring mengingatkanku
ternyata sejak siang perut ini belum terisi sesuap nasi. Segera kuakhiri cumbuanku dengan laptop tersayang dan berharap
menemukan sesuatu yang bisa dimakan malam ini.
#Keepfighting#Internasioanal
House C18#Recsam2019
#Catatan hari ke 7 Recsam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar